Loading Post...

You have reached the bottom. Let’s shuffle the article!

Post Not Found

Dusun Warosoba: Antara Kopi dan Adat-istiadat

 In Coffee Conversations

Upacara Reba. Credit: florestourism.com

Semua kopi berawal dari cerita di kebun. Cerita kopi kali ini pun sama, cerita yang dituangkan dari pengalaman teman baik kami, Mus dan Hasnah, yang mencoba mengelola pemrosesan pasca panen kopi di Dusun Warosoba, Bajawa.

Sedari dulu, Hasnah dan Mus sangat menyenangi kopi. Mereka bercerita kala berkuliah di Yogyakarta, ngopi adalah rutinitas mereka. Meskipun mereka tidak menguasai bagaimana proses penyeduhan kopi yang ideal, namun mereka percaya bahwa dengan belajar pengolahan pasca-panen kopi yang baik dari kebun, akan menghasilkan kopi yang nikmat untuk disajikan. Keinginan sederhana itu mendorong mereka mulai belajar mengelola kopi. Apalagi Hasnah, yang berasal dari Bajawa, area yang sudah lama menanam kopi, rasa yakin untuk terjun ke dunia pasca panen kopi. Mus dan Hasnah akhirnya memberanikan diri berangkat dari Jogja menuju Bajawa dengan membawa harapan untuk dapat terjun mengelola kopi dengan baik.

Gayung bersambut, mereka berkenalan dengan Ikang, seorang pegiat kopi dari Bogor yang sudah tiga tahun melakukan pemrosesan paska panen di tanah Bajawa. Melihat semangat mereka, Ikangengundang Mus dan Hasnah untuk datang ke lokasi di mana ia memproses kopi, yaitu di dusun Warosoba, kampung Beiwali, Ngada, Bajawa. Ikang mengenalkan mereka dengan penduduk dusun dan kepada petani rekanannya.

Saat kami bertanya bagaimana kesulitan awal Mus dan Hasnah ketika pertama kali menginjakkan kaki Bajawa, mereka tertawa dan kembali bercerita,

“Pada awalnya ada culture shock yang kami alami. Lama berdomisili di Jogja, kami harus membiasakan untuk belajar kebudayaan yang berbeda di dusun Warosoba, termasuk mempelajari bahasa daerah dan adat istiadat yang masih hidup di dusun tersebut. Untungnya, bahasa Indonesia masih dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan masyarakat setempat.”

Hal yang paling sulit pada awalnya tentu harus menyesuaikan kebiasaan. Kebiasaan hidup di kota di Jawa dengan kebiasaan di desa Bajawa tentu berbeda. Pengelolaan pasca panen kopi juga pada awalnya harus melihat kebiasaan masyarakat dan tidak dapat serta merta mereka paksakan ide atau pengetahuan yang mereka pelajari.

Mus dan Hasnah juga menceritakan hal unik yang mereka temui di dusun Warosoba. Mereka bercerita bahwa berbagai upacara dan pesta adat sangat dihormati dan dijalankan di kampung.

“Sebagaimana pada umumnya di Bajawa, cukup banyak acara adat yang berlangsung sepanjang tahun. Berbagai acara adat ini cukup erat hubungannya dengan pola hidup mayoritas penduduk yang memiliki kebun kopi. Acara adat di Bajawa meliputi upacara dan pesta, upacara adat sendiri biasa berlangsung di bulan Desember, Januari, dan Februari serta pada bulan Juni hingga awal Oktober,” lanjut Hasnah dan Mus.

Pada bulan Desember hingga Februari biasanya dilaksanakan acara adat Reba, acara adat tahunan bentuk rasa syukur masyarakat suku Ngada terhadap leluhurnya. Acara adat reba ini juga merupakan acara adat yang diselenggarakan untuk menyambut pergantian tahun.

Setelah Reba, memasuki bulan Juni sampai awal Oktober berlangsung juga acara adat lainya seperti pesta pernikahan dan sambut baru.  Untuk acara adat rutin lainnya meliputi Ka  sa’ o dan ka Nua.

Ka sa’o adalah pesta rumah adat yang diselenggarakan empunya rumah adat. Masyarakat turut membantu acara adat dan memiliki tangung-jawab menyukseskan acara pesta. Tanggung-jawab tersebut meliputi materi dan biaya pesta pemilik rumah adat. Ka Nua adalah pesta yang diselenggarakan desa dengan melibatkan masyarakat. Tiap rumah wajib menyumbangkan setidaknya sekali hajat di tiap rumahnya dan tangungan minimal 3 ekor babi dan kebutuhan lainya untuk pesta tersebut.

Baca juga: Menceritakan Desa Padawa Melalui Kopi.

Nah, apa hubungannya dengan kopi? Hasil panen dari kebun kopi merupakan pendapatan yang sangat membantu masyarakat di kampung untuk melancarkan penyelenggaraan upacara adat.

Masa panen kopi di daerah Bajawa berlangsung sekitar bulan Juni hingga akhir September. Musim panen berjalan beriringan dengan berbagai acara adat yang berlangsung pada rentang waktu tersebut. Kopi menjadi jawaban bagi kewajiban masyarakat untuk menyumbang demi penyelenggaraan acara adat. Hasil penjualan panen kopi membantu masyarakat kampung untuk membeli hewan yang akan disumbangkan untuk upacara adat kampung.

Masa panen kopi di daerah Bajawa berlangsung sekitar bulan Juni hingga akhir September. Musim panen berjalan beriringan dengan berbagai acara adat yang berlangsung pada rentang waktu tersebut. Kopi menjadi jawaban bagi kewajiban masyarakat untuk menyumbang demi penyelenggaraan acara adat.

Hasnah dan Mus melihat kebiasaan tersebut dari Fance, petani kopi rekanan mereka. Hasnah dan Mus pun sempat bertanya kepada Fance jika waktu yang bertabrakan ini justru menjadi kendala. Fance menjawab, “Itu adalah rezeki yang sudah diatur oleh nenek moyang kita. Nenek moyang sudah mengatur bahwa musim panen berlangsung bertepatan dengan bulan-bulan penyelenggaraan acara adat.”

Mungkin para petani sulit menabung dari hasil penjualan kopi yang mereka panen. Tapi dengan berpartisipasi di acara adat, dengan menyumbangkan hewan, atau bahan makanan untuk acara adat, mereka sudah merasa sangat bahagia.

Namun memang, kebiasaan untuk menjual hasil panen kopi untuk kebutuhan acara adat membatasi petani untuk melakukan pengolahan kopi yang lebih teratur. Munculnya sosok pemroses yang datang dari luar pulau, cukup membantu untuk mengajak petani lebih merawat kebun kopi yang dimiliki masyarakat. Mus dan Hasnah sendiri belajar banyak dari Ikang untuk membangun hubungan ekonomi yang baik dengan masyarakat petani kopi.

Itu adalah rezeki yang sudah diatur oleh nenek moyang kita. Nenek moyang sudah mengatur bahwa musim panen berlangsung bertepatan dengan bulan-bulan penyelenggaraan acara adat,” kata Fance.

Ikang menjalin kemitraan yang baik dimana ia membeli kopi gelondong dengan harga yang baik, dan juga ia memberi bantuan untuk pemeliharaan kebun agar hasil panen berikutnya meningkat. Selain itu, ia juga membeli kopi gabah yang diolah oleh petani mitra yang sudah diberi pendampingan dan pengarahan untuk memproses kopi dengan tata cara yang baik. Cara menjalin kemitraan Ikang dengan petani, yakni dengan menghargai adat istiadat mereka dan pembelian yang transparan serta memberi pendampingan kepada petani, menjadi inspirasi bagi Hasnah dan Mus untuk turut melakukan pemrosesan kopi di dusun Warosoba.

Baca juga: Petik Merah Saja: Kisah Gelangg Merah Dari Pangalengan.

Hasnah dan Mus mengakhiri pembicaraan hangat kami dengan menyampaikan harapannya di dusun Warosoba, “harapan dari kami sendiri sebagai prosesor baru adalah tetap menjaga hubungan baik dengan petani, menjaga kepercayaan antara kami dan petani kemudian kami berharap antusiasme petani kopi Bajawa lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Kami berharap dapat membantu menjaga kualitas pohon dan merawat agar bisa mendapat hasil yang maksimal pada saat panen tiba.”

 

Sampah Kedai Kopi… Dikemanain?
The Curse of Es Kopi Susu

Share and Enjoy !

0Shares


Leave a Comment

Start typing and press Enter to search