“Coffee-making tu juga ada taksu-nya (rohnya),” ujar I Kadek Edi, atau yang akrab disapa Bli…
Mendiskusikan Rasa Spices dalam Kopi
Musim kompetisi kopi akan mencapai klimaksnya bulan Mei ini. Selayaknya kompetisi pada umumnya, tentu, ada beribu cara untuk menjadi pemenang. Namun, banyak peserta kompetisi sepakat bahwa salah satu hal yang perlu menjadi fokus latihan adalah presentasi itu sendiri.
Di atas panggung, para peserta akan memiliki waktu 15 menit untuk menciptakan kreasi mereka sembari menjelaskan asal-usul kopi tersebut, keunikannya, pendekatan mereka kepada kopi yang terpilih, dsb. Meskipun pada akhirnya kopi adalah obyek utama yang menentukan nilai, namun presentasi yang baik adalah ramuan ampuh untuk menggoda para juri.
Salah satu elemen perangkai cerita yang mampu menyatukan rasa dan persepsi adalah tasting notes. Dalam secarik kertas yang para peserta gunakan untuk menaruh detail cerita mereka (profil sangrai, resep signature beverage, profil petani, etc), tertulis tasting notes kopi yang akan digunakan.
Di mata para juri, ketika tasting notes yang tertera cocok dengan citarasa kopi yang ia minum, maka nilainya akan naik, ibarat sebuah goal. Kolom ini biasanya dibiarkan kosong hingga hari H, ketika peserta akan menguji kopinya sekali lagi sebelum naik ke atas panggung.
Namun, bagi para peserta, tasting notes tidak hanya sebuah alat untuk membantu mereka menjelaskan kopi mereka, namun semacam haiku mini untuk memantik emosi tersendiri dalam benak para juri. Memilih notes yang akan dicantumkan pun mesti dilakukan secara hati-hati.
“Kalau kemarin saya nemu 4 macam rasa di kopi dan hari ini hanya 3, maka nggak mau saya ambil resiko untuk menuliskan semua tasting notes tersebut,” ujar Michail Seno Ardabuana dari Hungry Bird, Runner Up Indonesia Brewers Cup 2017.
Ketika menuliskan tasting notes pada saat kompetisi, bagi Seno, kuncinya adalah untuk tidak membuat janji berlebihan kepada para juri, yang malah bisa menjadi bumerang ketika mereka tidak menemukan cita rasa tersebut dalam kopi.
Baca juga: Food Pairing Bukan Hanya Milik Wine , Kopi Pun Bisa.
Ketika menuliskan tasting notes pada saat kompetisi, bagi Seno, kuncinya adalah untuk tidak membuat janji berlebihan kepada para juri, yang malah bisa menjadi bumerang ketika mereka tidak menemukan cita rasa tersebut dalam kopi.
Lain lagi dengan kisah James Hoffman. Pemenang WBC 2007 ini bercerita bahwa salah satu kesalahannya adalah menggunakan descriptor yang kurang tepat, seperti “blackcurrant” karena “I later found out that some of the judges didn’t know what that word meant. Blackcurrants aren’t actually particularly universal as fruits.”
Memang, ketika sudah bersangkutan dengan bahasa, sesuatu yang terukur bisa menjadi ambigu. Apakah referensi rasa ini dikenal? Apakah ia memiliki resonansi yang positif di mata masyarakat? Apakah referensi ini tumbuh di daerah tersebut?
Seno sendiri sudah menjelajahi dunia kompetisi kopi selama 5 tahun, dan sudah mempelajari betul bagaimana bahasa dan pemilihan kata-kata dalam kompetisi, termasuk dalam tasting notes, dapat membantu, atau malah menjebak para peserta.
“Selama pengalaman saya, ada beberapa referensi yang aman di ranah kompetisi: floral, fruity, seperti peach, red apple, nectarine,” lanjut Seno. “Dalam skala kompetisi nasional, tasting notes ini memiliki resonansi yang positif. Artinya, kalau kita highlight referensi tersebut dan juri memang betul menemukannya, kemungkinan mendapat nilai yang tinggi jadi lebih besar.”
Apakah hal ini kemudian menentukan kopi apa yang peserta kompetisi pilih? “Tentu saja,” kata Seno.
Dan di sinilah kisah bahasa dan persepsi mulai menjadi menarik.
Menurut Seno, ada banyak referensi rasa yang, entah kenapa, dinilai lebih rendah daripada yang lain. Rempah-rempah dan rasa herbal sering dinilai lebih rendah daripada rasa bunga-bungaan dan buah-buahan, padahal tidak ada yang secara obyektif negatif dari rasa kayumanis, cengkeh, ataupun rasa dedaunan pada kopi.
Rasa ‘negatif’ dalam kopi sendiri pada umumnya menandakan defect atau cacat dalam kopi, seperti rasa abu, kayu, tanah, dan rasa biji-bijian, dan pada umumnya diakibatkan oleh penanganan yang salah. Sebaliknya, rasa ‘positif’ berarti kopi tersebut tidak ternodai oleh rasa-rasa lain dalam perjalanannya dari hulu ke hilir.
Dalam Roda Rasa Kopi Indonesia, rasa herbal bisa menandakan underroast pada kopi, sementara rasa rempah-rempah menunjukkan bahwa kopi tersebut telah dalam tahap dry distillation karena telah masuk sangrai gelap. Dengan mengetahui intensitas rasa rempah-rempah atau herbal dalam kopi, kita bisa menilai apakah kopi tersebut menjadi positif atau negatif. Namun di luar itu, jika kopi tersebut masih menampilkan kekompleksitasan yang menyenangkan, mau ada rasa asam jawa ataupun timun pun, kopi tersebut tetap positif.
“Kalau misalnya nih, kita bisa secara definitive mengatakan bahwa di kopi ini ada rasa herbal, jeruk, kayumanis, dan di kopi ini ada rasa kayumanis dan stroberi, tentu logikanya, kopi yang pertama menjadi lebih menarik, dong? Karena dia kompleks,” ujar Seno.
Baca juga: No Word After Taste.
Jadi mengapa rempah-rempah dan herbal seringkali dinomorduakan?
Seno menjelaskan, bahwa mungkin saja, “karena daun herbal dan rempah-rempah murah dan ada di mana-mana di Indonesia, kita tidak begitu melihatnya sebagai barang yang istimewa.” Meskipun Indonesia kaya dengan daun herbal dan rempah-rempah, dan meskipun mereka adalah salah satu referensi termudah bagi kita, mungkin memukannya dalam kopi justru menjadi sesuatu yang terlalu biasa.
Dia pun bercerita tentang pemenang WBC 2017, Dale Harris, yang menang dengan tasting notes herbs, cacao, dan citrus. “Sayangnya, kalau di Indonesia, jadi akan risky untuk menyebut herbal. Padahal, mungkin ada banyak sisi sexynya yang justru bisa diexplore.”
Sayangnya, kalau di Indonesia, jadi akan risky untuk menyebut herbal. Padahal, mungkin ada banyak sisi sexynya yang justru bisa diexplore.
Kristian Batafor, salah satu cupper COE 2019, menyetujui. Dalam sebuah acara penjurian kopi, pernah dia menemukan rasa rempah-rempah mirip rokok kretek filter dalam kopi Gayo yang baginya sangat mengesankan dan unik, namun kopi tersebut malah dinilai kurang justru karena notes rempah-rempah tersebut. Mirip seperti Seno, bagi Kristian, adanya rasa rempah-rempah dalam kopi seharusnya tidak membuat kopi tersebut memiliki nilai lebih rendah dibanding kopi dengan rasa floral.
Apalagi, sebagai orang Indonesia, kita memiliki kosakata yang lebih kaya dibandingkan orang asing dalam mengidentifikasi rasa rempah-rempah dalam kopi. “Misalnya, orang luar negeri seringkali ‘hanya’ menyebut brown spices, tapi kita bisa bilang biji ketumbar, biji pala, kapulaga, jahe apalagi kalau sering masak dan familiar dengan rempah-rempah.”
Orang luar negeri seringkali ‘hanya’ menyebut brown spices, tapi kita bisa bilang biji ketumbar, biji pala, kapulaga, jahe apalagi kalau sering masak dan familiar dengan rempah-rempah.
Menurut Kristian, fenomena floral yang dinilai lebih tinggi dibandingkan rasa rempah-rempah adalah akibat trend belaka. Mia Laksmi Handayani, R-Grader Indonesia, membenarkan hal ini, “Geisha masih sangat ditinggikan. Kopi seperti Geisha seringkali sudah menjadi brand. Mirip seperti brand baju, kalau kita sudah cinta sama ZARA, apa pun yang ZARA keluarkan akan kita suka. Begitu juga dengan kopi. Sekarang adalah masanya kopi Geisha dan cita rasa itulah yang masih dinilai lebih tinggi.”
Namun, apakah penilaian rempah-rempah memang didasari hanya karena bias belaka? Menurut Adi Taroepratjeka, karena rasa rempah-rempah berada dalam tahap dry distillation atau sangrai gelap, “rasa rempah-rempah ini akan mengingatkan kita akan kopi orang tua. Untuk anak muda, ini bukanlah sesuatu yang terlalu menyenangkan,” ujarnya.
“Memang, jika rasa rempah-rempah terlalu kuat pun, tentu akan menganggu dan jadilah ia memiliki nilai yang negatif,” timpal Bu Mia.
Rasa, persepsi, dan memori memang adalah trio yang tidak selalu sinkron. Terkadang kita membayangkan rasa teh kamomil, padahal sudah bertahun-tahun kita tidak minum teh kamomil. Atau ketika kita diberitahu bahwa kopinya memiliki rasa nangka dan kita nggak suka nangka, jadilah penilaian kita tidak maksimal. Memori bisa menipu, sementara persepsi bisa bias.
Perdebatan tentang bagaimana rempah-rempah mesti dinilai mungkin akan terus berlanjut. Namun pada akhirnya, di ranah kompetisi, meyakinkan orang tentang kopi yang kita buat mungkin memang membutuhkan lebih dari sekedar ‘cerita.’ Mengutip James Hoffman, ketika membawa cerita kita kepada para juri, “a big part of it (menang) is making the judges feel good.”
Menurut Adi Taroepratjeka, karena rasa rempah-rempah berada dalam tahap dry distillation atau sangrai gelap, “rasa rempah-rempah ini akan mengingatkan kita akan kopi orang tua. Untuk anak muda, ini bukanlah sesuatu yang terlalu menyenangkan,” ujarnya.