read more
Antara Value Chain dan Industri 4.0
Industri kopi di Indonesia sedang berkembang begitu pesat. Jokowi sudah mencanangkan kopi sebagai salah satu dari lima komoditas yang menjadi prioritas di Indonesia, beserta segala program-programnya. Tahun lalu, untuk pertama kalinya permintaan domestik untuk kopi premium jauh lebih tinggi dari ekspor dan tahun ini, Indonesia masuk dalam jajaran empat besar World Barista Championship di Boston. Namun di balik gelora third dan fourth coffee wave di Indonesia, masalah apa saja sih yang masih sering terlupakan?
Radiv Annaba, akademis kopi yang sedang mempelajari seluk-beluk value chain, mengajak kita untuk berpikir kritis mengenai program-program pemerintah yang seringkali kurang implementatif. Dalam diskusinya bersama Indah Febryyani, ia juga menelusuri pentingnya mencari cara untuk mendapatkan data yang komprehensif yang bisa dimanfaatkan oleh berbagai pelaku kopi, hulu-hilir. Dengan Industri 4.0 yang semakin menyusup ke keseharian kita, apakah teknologi digital adalah solusi untuk menyeimbangkan value chain ini?
Yuk simak dua esai di bawah ini oleh Radiv Annaba dan Indah Febryyani mengenai value chain, data, dan Industri 4.0!
—
Politik Kopi: Pidato Politik Jokowi tentang Kopi dan Bagaimana Kebijakannya Berdampak Terhadap Rantai Nilai Kopi di Indonesia
Radiv Annaba
Ini adalah tahun keempat saya sebagai coffee individual di industri kopi. Mengapa saya mengidentifikasi diri saya sebagai coffee individual? Karena saya telah banyak terlibat dalam bisnis kopi, dari awalnya sebagai barista kemudian (semoga) berakhir sebagai petani kopi, sembari menyelesaikan tesis kuliah sebagai mahasiswa Hubungan Internasional.
Pada tahun 2016, saya mulai membagikan pengalaman saya di dunia kopi dengan mendirikan komunitas mahasiswa barista, dan tahun berikutnya, saya mulai melakukan penelitian terhadap petani-petani kopi di Jawa. Ini merupakan petualangan di industry kopi yang amat menyenangkan.
Melaluinya, saya sendiri telah banyak belajar dari berbagai terobosan, kesulitan, dan kegagalan yang saya temui dalam tiga tahun ini. Dengan kata lain, saya melihat betapa Indonesia memiliki begitu banyak potensi di industri kopi. Namun, saya melihat ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan oleh semua orang disepanjang value chain, supaya kita dapat maju dan membuat industri ini berkelanjutan agar tercipta lingkungan bisnis yang lebih baik.
Dari apa yang saya lihat dalam industri ini, saya percaya bahwa industri kopi di Indonesia harus lebih memperhatikan mereka yang memamg bergantung pada kopi, yaitu petani, pengolah, pemanggang, pedagang, dan pemilik kedai kopi, terutama bagi petani yang tinggal di daerah pedesaan yang jauh dari kota di mana konsumerisme dan pengembangan lebih banyak terjadi.
Di negara seperti Indonesia, di mana demokrasi masih berkembang dan pemerintah masih berusaha untuk menemukan sistem politik dan pemerintahan yang terbaik untuk rakyatnya, kita masih memerlukan pemerintah untuk lebih banyak berperan dalam memajukan sektor-sektor pembangunan negara.
Misalnya, petani kopi berjuang melawan tekanan kapitalisme global dalam industri kopi. Tingkat pertumbuhan konsumsi kopi global meningkat 1,3% per tahun dan negara-negara penghasil kopi, seperti Indonesia, harus mengikuti permintaan yang tinggi pada produksi dan pasokan kopi, terutama karena Indonesia berada di urutan ke-4 untuk negara-negara penghasil kopi teratas di belakang Brasil, Vietnam, dan Kolombia. Ya, Vietnam. Tetangga kita di ASEAN telah berhasil meningkatkan produksi kopinya selama bertahun-tahun meskipun jumlahnya jauh lebih kecil daripada Indonesia. Kita dapat mengatakan bagaimana politik mereka kurang berkembang dibandingkan Indonesia, tetapi melalui pemerintah dan kebijakannya, blueprint mereka di sektor kopi jelas: menghasilkan kopi sebanyak yang mereka mampu.
Tetangga kita di ASEAN telah berhasil meningkatkan produksi kopinya selama bertahun-tahun meskipun jumlahnya jauh lebih kecil daripada Indonesia.
Saya sangat mengagumi langkah pemerintah Vietnam. Pasti ada kebijakan yang terstruktur yang berfokus pada produksi kopi. Dengan area yang jauh lebih kecil, pemerintah Vietnam dapat menghasilkan lebih banyak kopi daripada Indonesia, seperti terlihat oleh angka produksi mereka yaitu 1.650.000 metrik ton pada 2016, sementara Indonesia menghasilkan “hanya” 660.000 metrik ton pada 2016. Sebagai penggemar kopi, saya melihat ini sebagai suatu masalah dan juga motivasi.
Baca juga: Happening Now : Coffee’s Fourth Wave.
Pemerintah Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi memang menaruh perhatian pada komoditas yang berpotensial, termasuk kopi. Sebagai contoh, kementerian perdagangan telah menyatakan bahwa kopi adalah salah satu dari 5 prioritas utama pasar komoditas Indonesia, dan pada tahun 2020, pemerintah akan lebih fokus pada 5 komoditas unggulan tersebut.
Jadi apa masalahnya? Apakah kebijakan itu akan berdampak kepada mereka yang telah bekerja keras di industri kopi? Bagaimana dengan nilai value chain itu sendiri?
Selama lebih dari setahun, saya mengamati bagaimana Jokowi mulai memberi “minat” khusus di sektor kopi. Sejak Agustus 2017, Jokowi mulai berbicara tentang kopi dan potensinya. Dua bulan kemudian, Jokowi mengundang berbagai coffee individuals ke sesi “Waktu Kopi bersama Presiden” pada Hari Kopi Internasional.
Dia memberikan pidato yang menarik hari itu. Yang menghadiri pertemuan di Istana Presiden itu sendiri adalah pemilik kedai kopi, barista, petani, dan pedagang. Jokowi berpidato mengenai bagaimana Indonesia masih berada di belakang Vietnam dalam produksi kopi. Beliau juga menyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi, karena harga kacang hijau meningkat dari tahun ke tahun, dan harus diikuti oleh lebih banyak inovasi dalam bisnis kopi. Jokowi memberi contoh tentang bagaimana Tuku bisa berhasil menjadi kedai kopi yang mengubah permainan lokal karena Presiden pernah menghadiri kedai kopi di Cipete, Jakarta Selatan. Ia memotivasi hadirin untuk lebih kreatif, berani, dan inovatif dalam berbisnis kopi.
Saya suka dengan antusiasme Presiden. Tetapi pada saat ini, industri kopi kami masih bermasalah dengan value chain. Ya, memang harga green beans meningkat, mengingat harga kopi Indonesia juga termasuk yang tertinggi di dunia. Tetapi apakah produsen dan petani mendapatkan yang terbaik dari harga yang bagus ini?
Penelitian saya pada petani kopi pada 2017 menemukan bahwa petani kopi kecil di Indonesia masih berjuang untuk mengimbangi ketatnya pasar dan persaingan. Tekanan dari pasar global dan kapitalisme amat jelas. Belum lagi, pengetahuan tentang bagaimana tanaman kopi harus diproses secara metodologis belum dipahami dengan baik. Kebijakan pemerintah tidak membantu kondisi petani untuk meningkat. Misalnya, 8 dari 10 petani yang menjadi responden saya masih berjuang secara ekonomi karena biaya produksi dan biaya hidup meningkat setiap tahun.
Ya, memang harga green beans meningkat, mengingat harga kopi Indonesia juga termasuk yang tertinggi di dunia. Tetapi apakah produsen dan petani mendapatkan yang terbaik dari harga yang bagus ini?
Ini adalah masalah yang saya nyatakan sebelumnya. Jokowi and Co. harus mulai menyelidiki masalah utama dalam value chain, dari petani hingga kedai kopi lokal, secara lebih luas. Saya mengerti bahwa BEKRAF (Badan Ekonomi Kreatif Indonesia) menjadi alat bagi Jokowi untuk melaksanakan program melalui coffee individuals. Ini adalah langkah yang baik dengan BEKRAF.
Tapi saya pikir dengan tugas berat seperti itu, BEKRAF hanya dapat menghasilkan program untuk beberapa coffee individuals saja, dan menurut saya, itu tidak akan memberikan dampak jangka panjang kepada industri kopi dan value chain secara keseluruhan. Ini hanya satu contoh di tingkat pemerintahan tertinggi.
Contoh dan masalah lain adalah inovasi dan perluasan pasar (ekspor, dll) yang ingin dicapai oleh Presiden. Sementara kami berjuang untuk memperbaiki masalah value chain, Jokowi ingin para individu kopi berinovasi. Pada saat yang sama, penelitian dan pengembangan (RnD) diremehkan di negara ini. Di sektor kopi, kami hanya memiliki lembaga penelitian kopi swasta. Ini juga masalah besar. Pemerintahan Jokowi harus mempertimbangkan menggunakan anggaran negara supaya para peneliti bisa memecahkan masalah dan mengembangkan solusi dengan cara metodologis.
Jika kita tidak memiliki database dan informasi yang memadai tentang kopi kita sendiri, bagaimana kita dapat berjuang untuk industri ini? Saya mengerti bahwa kita memiliki banyak masalah yang perlu dipecahkan. Dengan demikian, coffee individuals di Indonesia harus berkumpul dan bekerja sama, memperluas pengetahuan dan tanpa lelah berinovasi untuk industri kopi yang lebih baik dan berkelanjutan. Pemerintah harus melakukan agenda yang lebih terperinci untuk memperbaiki masalah dalam value chain kopi, mulai dari yang paling bawah.
Sebagai coffee individuals, teman-teman, jika bukan kita yang mengambil tindakan, lalu siapa?
—
Radiv Annaba : Kopi, Data, hingga Value Chain
Indah Febryyani
Kita sering mendengar slogan “panjang umur petani Indonesia!” tapi benarkah bahwa petani saja yang harus panjang umur? Hmm…
Selamat datang di value chain perkopian Nusantara.
. . .
Sabtu, 13 Juli 2019. Saya datang ke SMITH Duren Tiga untuk menghadiri presentasi dari Lecture Series milik Radiv Annaba saat World of Coffee Berlin 2019 kemarin. Setelah menyimak uraiannya mengenai program-program pemerintah yang secara teori baik, namun secara pelaksanaan kurang implementatif, ada satu pertanyaan yang terus terlontar dari pendatang yang sebagian besar adalah pelaku kopi: bagaimana dengan data?
Permasalahan tentang petani yang kebingungan kepada siapa mereka memasarkan hasil produksi mereka adalah karena minimnya data. Industri kopi kita tidak punya data yang reliable dan konkrit sebagai acuan. Mungkin di luar sana sudah ada beberapa hasil survey terkait kopi seperti harga kopi susu per cup, indeks pertumbuhan kedai kopi, produksi kopi per kapita.
Tapi dalam penelusuran Radiv, belum ada data kolektif yang transparan tentang berapa dan bagaimana demand market terhadap beans spesialti, data para petani yang berkecimpung khusus di ranah spesialti, dan sebagainya. Belum banyak orang yang mengambil peran sebagai peneliti di value chain kopi Indonesia.
Pentingnya sebuah data berdampak pada semua strategi perkembangan bisnis. Tanpanya, semua kampanye yang digawangkan hanya berakhir menjadi buaian spekulatif. Seandainya persebaran data tentang kopi dibuat setransparan mungkin seperti yang dipraktikan oleh Skandinavia, tentu adjustment harga akan lebih masuk akal tinimbang yang terjadi sekarang; ketika harga kopi terus naik tanpa kita (di hilir) tau jelas apa yang menyebabkan nilainya terus mencekik. Daya jual beli bisa terproyeksi lebih optimal dengan data yang akurat sehingga petani tidak perlu takut terjadi miss management saat melakukan direct trade.
Permasalahan kedua : Tanpa data akan terjadi chaos dalam value chain. Kalau petaninya sejahtera dan makmur tetapi arus suplai tersendat akibat harga yang meroket, akan dikemanakan biji kopi tersebut berlabuh? Atau kasus seperti surplus yield yang tidak bisa dioptimalisasi karena petaninya ngga melek sama teknologi padahal biaya operasional bisa dipangkas apabila memanfaatkan platform marketplace.
Lagi-lagi peran pemerintah dibutuhkan untuk menjadi regulator dengan melibatkan banyak pihak agar tidak lagi membuat program “bakar duit anggaran” saja.
Permasalahan ketiga : Direct trade hanya salah satu cara yang diharap paling praktikal. Radiv tidak mengatakan direct trade adalah koentji. Tidak pula menjadikannya acuan agar bisa diterapkan di setiap skala perkebunan karena tentunya setiap perkebunan besar dan pengelolaannya berbeda. Namun, direct trade dirasa lebih praktikal apabila terjadi kerjasama antara small holder dengan pembeli di hilir mengingat di Indonesia para petani masih banyak yang masuk kategori pemegang kebun kecil.
Selanjutnya muncul pertanyaan dalam benak saya,
Seberapa penting petani harus bisa beradaptasi dengan perkembangan Revolusi Industri 4.0 di saat bersamaan menjalankan direct trade?”
Praktiknya saat ini, perkembangan teknologi memainkan peranan yang besar. Direct trade, cepat atau lambat akan menjadi pintu gerbang untuk teknologi Industri 4.0.
Sudah ada beberapa platform yang mengaplikasikan teknologi dalam metode direct trading atau bahkan menjadi alat investasi agrikultur. SayurBox, TaniHub, Kecipir, PanenID, dan masih banyak lagi. SayurBox sendiri berfokus sebagai marketplace yang menjalankan direct trade dengan petani serta hasil panen unggulan di daerahnya, yang kemudian menjadi aplikasi penghubung dengan customer. Sedangkan TaniHub memiliki keunggulan sebagai start up yang menyediakan soft loan bagi para petani melalui program TaniFund. Diantara semua aplikasi start-up yang saya telusuri sayangnya belum ada niche yang terfokus pada sektor kopi saja.
Baca juga: Coffee Conversation with Adi Taroepratjeka.
“Harapan jangka panjangnya ke depan, kita bisa memiliki platform yang digarap serius agar semua data ini dapat ditampung. Saya sendiri siap apabila ada pihak yang mengajak untuk berkontribusi mengembanngkan ide ini. Karena dari apa yang bisa dilihat dari industri kopi Indonesia bahwa data itu penting untuk dikolektif.”
Radiv memaparkan lebih jauh bahwa hadirnya platform akan mempermudah akses data exchange antara hulu dan hilir dalam praktik direct trading. Hadirnya platform ini, menurut Radiv, bukan untuk merubah konsep direct trading itu sendiri, namun sebagai bejana informasi terkait luas lot tanah, siapa target customer, berapa yield yang memang dibutuhkan pasar, dan sebagainya. Karena seperti dengan Google dan Facebook, digital platform semacam ini mampu menampilkan informasi dan pola yang tidak mudah dilihat dengan kasat mata.
Hadirnya platform ini, menurut Radiv, bukan untuk merubah konsep direct trading itu sendiri, namun sebagai bejana informasi terkait luas lot tanah, siapa target customer, berapa yield yang memang dibutuhkan pasar, dan sebagainya.
Dengan data yang terarsip secara daring dan dapat diakses secara publik, informasi ini bisa dimanfaatkan sebagai projek Research and Development di hulu dan hilir, dan mempermudah mereka untuk bereksperimen dengan komoditas kopinya. Petani tidak perlu takut pembayaran kopi terlambat atau kesulitan mencari pinjaman usaha. Bahkan kedai kopi juga mampu menciptakan eksklusivitas brand dari beans yang mereka beli secara direct trade dengan petani. Semuanya melalui satu platform dan tinggal klik klik klik. Yahh… anggap saja seperti aplikasi tinder dalam sektor agrikultur.
Bukankah dengan semua kemudahan dan transparansi tersebut harapan kita sama?
Agar panjang umur semua orang dalam value chain kopi di Indonesia, bukan hanya petani. Bukan hanya kapitalis.
Artikel ini sudah diperingkas. Untuk melihat artikel ini secara keseluruhan, silahkan klik di sini.