At Gembongsari, a coffee village in Banyuwangi, coffee is enjoyed right at the coffee farm.…
Digital Currency: Bye, Bye Pengepul Kopi
Summary: Blockchain isn’t all about digital currency. At its core, blockchain is about creating a system where data is immutable and tamper-proof. When this is done, companies will no longer be able to manipulate information and, by the science of data, has to deal fairly with all parties. The global coffee industry thrives from pushing down prices at its most vulnerable party: the farmers. In the ideal world of blockchain, this can no longer be the case because transparency is the output of this digital technology.
Blockchain sebetulnya tidak serumit yang kita kira.
Bayangkan sebuah sistem dari producer (coffee farmer) hingga consumer (kamu) yang transparan. Di mini market terdekat, kamu dapat menemukan sebungkus specialty coffee origin, lengkap dengan kisah sang petani kopi. Kamu tidak hanya belajar tentang daerah asal sang petani, namun juga berapa jumlah keluarganya, cita-cita anaknya, apakah sang anak bersekolah, apakah mereka sehat, hingga penghasilan petani kopi tersebut.
Informasi yang kamu dapat tentang petani ini bukan hanya marketing trick si penjual kopi yang ditulis ala kadarnya untuk menampilkan simpati. Malah sebetulnya, sang petani sendirilah yang menulis kisah yang kamu baca. Informasi detail tentang petani kopi ini adalah bentuk usaha untuk menjaga transparansi dalam bertransaksi dari hulu hingga hilir.
Di sisi seberang, sang petani kopi pun dapat membaca sedikit tentang kamu. Ia bisa tahu di mana saja kopi yang ia tanam dijual, siapa pembelinya, demografik pembelinya, hingga berapa harga jualnya ke pembeli.
Jika data adalah sumber kekayaan masa depan, maka menjaga keakuratan data dalam rangkaian value chain adalah fondasi utama konsep blockchain. Blockchain adalah suatu sistem teknologi di mana data (tidak hanya uang) yang tersimpan dalam komputer tersebut tidak bisa dirubah. Tersimpan dalam block, data ini bisa berupa informasi mengenai kualitas biji kopi, kondisi tanah, prediksi cuaca, keuangan keluarga sang petani, dan sebagainya.
Jika data adalah sumber kekayaan masa depan, maka menjaga keakuratan data dalam rangkaian value chain adalah fondasi utama konsep blockchain. Blockchain adalah suatu sistem teknologi di mana data (tidak hanya uang) yang tersimpan dalam komputer tersebut tidak bisa dirubah. Tersimpan dalam block, data ini bisa berupa informasi mengenai kualitas biji kopi, kondisi tanah, prediksi cuaca, keuangan keluarga sang petani, dan sebagainya.
Tidak seperti file biasa dalam komputer yang bisa kamu rubah isinya dan bagikan ke teman-teman (bayangkan film dan music bajakan), dalam sistem blockchain, apa yang sudah tertulis, tidak bisa dirubah (tamper-proof).
Bagaimana blockchain menjaga keaslian sebuah data adalah kinerja misterius teknologi masa kini yang tak perlu diuraikan di artikel ini. Namun di sisi industri, keberadaan sebuah sistem yang memiliki fungsi utama menjaga transparansi mampu mentransformasi bagaimana produser dan konsumen berinteraksi.
Tidak hanya konsumen dapat mengenal sang petani lebih jauh, namun petani juga diberi bahasa dan diskursi tentang pasar dari produknya sendiri, sehingga ia pun memiliki posisi yang lebih kuat di value chain.
Stephen DeMelenaure, Spesialis Koperasi Petani dari Program AMARTA yang didukung oleh US AID, menjelaskan tentang bagaimana blockchain berguna untuk institusi yang mengedepankan prinsip fair trade:
“Misalnya, sekelompok petani kopi di Indonesia akan menjual kopinya kepada orang-orang di Belanda, tepatnya kepada market yang memang peduli bahwa petani kopi tersebut dibayar dengan layak. Apa yang dapat kita lakukan sebagai organisasi fair trade adalah membuat blockchain dan menghubungkan para petani ke aplikasi blockchain supaya mereka bisa menuliskan informasi tentang diri mereka, seperti: ‘anak saya ada dua, saya dapat menyekolahkan mereka, saya dapat membelikan mereka asuransi kesehatan, ada akses ke air bersih dan listrik, dsb.’ Jadi setiap petani akan mendapatkan QR code yang unik untuk menulis informasi di atas.
“Ketika kopi mereka masuk ke dalam container untuk dikirim ke Belanda, container itu pun juga mendapat QR code sang petani. Di Belanda, kopi tersebut dijual dengan label yang akan menunjukkan QR code si petani. Sehingga, ketika seseorang membeli kopi tersebut, ia bisa membuka aplikasinya dan scan QR code untuk membaca kisah sang petani. Dari segi bisnis, dengan adanya transparansi ini, diharapkan konsumen pun akan lebih loyal.”
Baca juga: Ngopi di Tempat Semestinya.
Semenjak dimulainya pasar kopi global pada abad ke-17 hingga satu decade terakhir, origin bukanlah faktor yang membawa untung ke suatu usaha. Sekarung kopi Mandhailing yang diekspor ke negara lain kemungkinan besar tidak 100% dari Mandhailing. Bisa jadi kopi tersebut berasal dari seluruh Indonesia yang memiliki kualitas rasa serupa dengan kopi Mandhailing, namun karena nama Mandhailing lebih menjual, jadilah nama Mandailing yang digunakan. Permainan nama ini bukanlah barang baru.
Namun di dunia kopi yang semakin menjurus ke specialty dan menuntut cerita origin, otomatis transparency dan sepupunya, traceability, menjadi faktor yang kian menentukan penjualan suatu produk.
“Petani pun memiliki insentif untuk menjaga kualitas dan menjual barang yang sebetulnya baik karena kali ini, asal usulnya dihargai,” lanjut Stephen.
Sebelumnya, pengumpul memiliki gerak yang leluasa dalam mengontrol green beans yang ia dapat dari seluruh Indonesia. Tidak perlu mereka bertanggung jawab kepada pembeli green beans akan keaslian originnya. Tidak perlu juga mereka menuntut para petani untuk mempertahankan kualitas kopi dari daerahnya.
Kemampuan blockchain untuk menciptakan transparansi dan traceability inilah menjadi alasan mengapa blockchain cocok di dunia kopi specialty. Ketika informasi yang kita dapat itu asli dan ketika petani pun mampu berperan dalam menceritakan kisahnya sendiri untuk dibaca oleh konsumen, maka nilai komoditas itu pun menjadi jauh lebih berharga.
No more loan sharks!
Blockchain tidak hanya berguna sebagai pengawal transparansi dan keaslian suatu produk. Ekosistem digital ini juga mampu menopang kesehatan financial para petani dengan lebih baik. Sebesar 65% masyarakat di Indonesia tidak memiliki akses ke bank, namun 75% dari mereka memiliki smartphone. Memanfaatkan smartphone dan teknologi blockchain, petani bisa mendaftarkan diri untuk mendapat pinjaman yang layak dari micro-lenders.
“Para petani, termasuk petani kopi, bisa mendapat pinjaman dari pemerintah, namun mereka akan menerima bunga yang besar—15%, jauh lebih besar daripada jika kamu adalah seseorang yang sudah memiliki kekayaan sendiri,” lanjut Stephen.
Meminjam dana untuk keperluan perawatan kebun dan untuk menjaga kualitas kopi adalah hal yang umum di dunia kopi specialty. Namun kopi hanya dipanen setahun sekali, sehingga balik modal terbilang lambat. Pada umumnya, petani kopi akan bersandar kepada pengepul untuk pinjaman. Sayangnya, kita semua tahu bahwa meminjam kepada pengepul tidak selalu berakhir dengan baik.
Sementara di dunia perbankan, alasan petani mendapatkan bunga yang besar sebetulnya terbilang masuk akal. “Gagal panen, tidak punya insurance, dan tidak punya credit history adalah beberapa alasan mengapa interestnya menjadi besar,” papar Stephen.
Baca juga: Antara Value Chain dan Industri 4.0.
Dunia perbankan mesti terus memutar pemasukannya supaya institusi tersebut meraup untung, namun blockchain bukanlah sebuah institusi. Ia juga bukan pengepul yang memanfaatkan petani. Blockchain adalah platform di mana micro-lenders dapat memberikan pinjaman kepada petani dengan lebih bijak. Bagaimana caranya?
Lagi-lagi, jawabannya kembali ke data. Kemampuan blockchain untuk menjaga keakuratan data menjadikannya berbeda dengan sistem informasi zaman sekarang, di mana data sangat mudah dimanipulasi. Karena data yang lebih akurat inilah, siapa pun dapat menganalisa kondisi yang lebih riil di lapangan, seperti iklim tahun itu, cuaca, keadaan ekonomi, tanpa bergantung kepada pihak-pihak lain yang mungkin memiliki kepentingan tersendiri.
Dengan adanya infomasi-informasi ini, keputusan untuk memberikan pinjaman kepada petani pun dapat dipikirkan dengan lebih bijak. Faktor-faktor alam dapat dikalkulasi dengan lebih akurat dan petani bisa membagikan prediksi pengeluarannya sepanjang tahun. Pemberi pinjaman tak perlu lagi khawatir akan gagal panen karena hal tersebut bisa diprediksi lebih awal. Pinjaman yang secukupnya pun bisa turun untuk memenuhi kebutuhan petani dan para petani tak perlu takut tidak dapat mengembalikan pinjaman.
Jika kita lihat, teknologi blockchain bukan hanya sistem pembayaran fantastis ala science-fiction. Konsep ini didasari kebutuhan baru di industri agrikultur untuk berjualan lebih jujur, di mana selama berpuluh-puluh tahun ia terbiasa mengabu-abukan asal-usul suatu produk. Di era digitalisasi di mana semua orang dapat bersuara, blockchain adalah platform yang membersihkan suara-suara ini dari noise dan menjadikan suara tersebut sebuah data berharga bagi banyak pihak untuk mengambil keputusan yang lebih beretika.
Oleh Anin