"Kenapa Pak, kok ketawa?" "Hahaha... Kamu suka gula ya, Dik?" tanya Pak Gede sesaat setelah…
Juria, oh Kopi Juria!
Bagi masyarakat Colol, Flores, kopi adalah kehidupan. Tak pernah sekalipun hidup terlepas dari yang namanya kopi. Sebelum memulai hari dan bermimpi pun, orang-orang Colol, Flores, ditemani kopi. Sejak jaman nenek moyang masyarakat Colol Flores begitu akrab dengan kopi dan sejak kecil pun anak-anak di sana sudah dikenalkan dengan kopi sehingga tubuhnya begitu terbiasa dengan kopi bahkan hingga mereka dewasa tidak pernah gagap akan rasa kopinya. Di Colol, Flores, bayi berumur delapan bulan sudah disuapi dengan kopi tanpa gula. Mereka dilatih untuk terbiasa dengan rasanya, sehingga tak ada yang aneh ketika mereka dewasa nanti.
Di Flores sendiri, ada beragam jenis tanaman kopi yang sejarah kelahirannya di pulau ini juga beragam. Kopi arabika masuk ke Flores Manggarai tahun 1800. Tahun 1913 masuk yang namanya robusta. 1937, kopi juria menyusul masuk dan tahun 1977 masuk kopi hasil dari program pemerintah yang disebut kopi kaltimor. Di tahun 1990an, masuk yang namanya kopi yellow caturra.
Semua jenis kopi ini masih ditanam dan dijaga sampai saat ini oleh petani dan masyarakat yang ada di Flores. Dari beragam tanaman kopi yang terdapat di Flores, adalah kopi juria yang paling besar memberi andil bagi kelangsungan hidup masyarakat di sana. Memang, tak ada yang terlahir sempurna di dunia ini, termasuk juga kopi. Meskipun ada berbagai jenis kopi yang terdapat di Flores, kopi jurialah yang memiliki rasa terenak, harga termahal, namun kopi juria ini juga yang paling jarang buahnya bisa dipetik. Kopi juria sendiri adalah variasi lain tanaman kopi arabika, namun dengan aroma floral yang manis nan kuat. Di Colol, pohon kopi juria termasuk tanaman kopi tertua yang sudah berumur 50 tahun.
Menurut Ludovikus Vaderman, ketua Asnikom dan salah satu petani kopi di Colol, Flores, kopi juria keberadaannya begitu langka,
Sekarang juria itu sudah sedikit langka, tidak banyak karena salah satu kelemahannya adalah gugur daun.
Baca juga: Wanita-Wanita Penggerak dari Kaki Gunung Semeru.
Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Pak Ludovikus bahwa jika pohon juria ini berbuah lebat pada tahun pertama, panen kopinya sendiri baru memungkinan dilakukan dalam dua atau tiga tahun berikutnya karena ada masa pohonnya menggugurkan daun dan harus ditunggu hingga tumbuh daun kembali.
Karena panennya jarang, tentu membuat kopi ini tampak langka dan dengan begitu akan berpengaruh juga dalam harganya. Meskipun harga kopi juria ini mahal, sedikit petani yang menekuni kopi juria, kebanyakan kaltimor atau pun yellow caturra. Hal ini terjadi karena kembali lagi pada karakteristik juria yang baru bisa dipanen sekali dalam dua atau tiga tahun sehingga bagi masyarakat yang perekonomiannya satu-satunya berasal dari kopi, akan susah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu masyarakat menyiasatinya dengan tidak menanam satu jenis kopi saja, tetapi beragam.
Menurut Pak Ludovikus, dia masih menekuni kopi juria memang karena rasanya yang enak, “Saya masih menekuni kopi juria sampai saat ini adalah karena rasa kopinya memang sangat bagus. Di pinggir kebun/rumah atau di kandang kambing juga ada saya tanam. Tapi kita tidak fokus ke dia, hanya saja kita tetap merawatnya, ya walaupun harus tunggu dua atau tiga tahun, tapi kami tetap jaga dia.”
Pak Ludovikus juga menambahkan kalau sekali panen kopi juria paling banyak 100 kg, malah lebih sering di angka 50 kg. Hasil panen itu bukanlah berasal dari pohon kopinya sendiri saja, melainkan gabungan dari beberapa petani. Sistem pembelian kopi juria ini biasanya booking tiga bulan sebelum panen. Ketika sudah ada pesanan, barulah Pak Ludovikus dan teman-temannya mengumpulkan kopi juria ini dan dikirimkannya ke beberapa tempat dan menurutnya, pengiriman paling sering ditujukan ke Jerman.
“Pemasaran biasanya paling sering teman dari Jerman, ketika mau panen mereka booking dulu 3 bulan sebelum panen. Kita kumpul beberapa petani, untuk sediakan kopi untuk kebutuhan mereka satu tahun.”
Di Flores sendiri delapan puluh persen pendapatan masyarakat adalah melalui kopi dan sebagian besar masyarakat tumbuh dan beraktifitas dengan bantuan kopi. Di sela-sela pembicaraan, Pak Ludovikus mengungkapkan besarnya peran kopi, “Minum kopi di sini itu disediakan pake ceret. Jadi, 1 orang bisa tambah kopi 2/3 kali dan itu tak pernah mengenal hari pagi siang sore malem terus. kopi itu energi, kalau nggak minum kopi itu kita sakit dan lesu. Setiap hari setiap malam wajib ada kopi.”
Selain itu dia juga menceritakan bagaimana di desanya orang-orang sangat terbiasa minum kopi tanpa gula. “Saking terbiasanya, ketika ada teman dari luar minta gula karena kopi pahit, kami bingung mencarikannya di mana!” cerita dia sambil tertawa.
Jadi tradisi di sini minum kopi pahit tanpa gula. pernah satu kali ada kawan dari luar yang biasa minum kopi dengan gula lalu ketika sampai di sini kita suguhi dia dengan kopi pahit, lalu dia tanya ‘memang di sini sama sekalo tidak ada gula ya pak?’ Ya kami bingung harus cari gula di mana. Ya kami bilang kalau tradisi kami di sini memang ngopi tanpa gula.
Dia juga menambahkan kalau ketika gula ditambahkan pada kopi, selain memang rasa aslinya akan berubah, kalau takarannya tidak sesuai, kopi itu bisa juga membuat perut kita sakit. “Jadi minum yang biasa perut kita terima saja.”
Baca juga: A Traditional Method to Making Coffee.
Oleh Putu Juli Sastrawan