Read in English Bali lambat laun tak hanya terkenal karena pariwisatanya, tapi juga kopi Fine…
Masa Depan Robusta Kita
MUSTIKA YULIANDRI
Di industri kopi kita, robusta ibarat selebriti yang kehilangan masa jaya. Kemudian ditemukan lagi oleh manajemen baru, yang bekerja keras menyulap si pesohor masa lalu menjadi nyala bagi panggung hiburan.
Keberadaan robusta mungkin berbeda nilainya saat kita mendengar cerita-cerita usang kakek dan nenek kita di dapur. Ada secangkir kopi panas harum mengepul yang dituang di cangkir enamel. Secangkir robusta yang mengandung nikmat tanpa ukuran, formula, apalagi rumus-rumus pengukur kenikmatan.
Eksistensi robusta sekarang ini berjalan maju meski merangkak. Pelan, dan mudah-mudahan pasti. Beberapa tahun lalu saat kopi spesialti menggebrak dan mengagung-agungkan keberadaan kopi arabika, robusta mendadak hilang pamor. Kopi robusta dianggap kopi masa lalu yang hanya pahit saja, monoton dan tidak sekompleks arabika rasanya. Orang-orang memilih robusta hanya sebatas campuran house blend atau sebagai pemangkas budget di kedai kopi karena hargnya murah. Padahal lahan perkebunan yang menanam kopi robusta luasnya 1 juta hektar dengan hasil panen 601.000 ton/tahun. Sedangkan arabika hanya 0,30 hektar dengan hasil panen hanya mencapai 147.000 ton/tahun, menurut data Kementrian Perindustrian pada 2017.
Siapa sangka, robusta akhirnya dilirik oleh banyak kalangan. Lalu munculah istilah fine robusta yang merupakan kopi robusta dengan grade tertinggi dengan cupping score di atas 80. Jika kita berhati-hati dalam memproses, menyangrai, dan menyeduh robusta, selayaknya kopi specialti, maka ia bisa mengeluarkan aroma dan rasa yang sama kompleksnya dengan specialti arabika. Misalnya, dengan memetik buah dengan kematangan yang pas, menghindari over-fermentation, dan tidak menyangrainya terlalu gelap.
Salah satu yang menilik fine robusta ini adalah Mia Laksmi Handayani yang akhirnya meleburkan dirinya sebagai r-grader bersertifikasi. Sebuah pilihan yang lain di saat banyak orang berbondong-bondong mengambil kelas q-grader, perempuan satu ini malah mengambil tantangan yang berbeda.
Meramal Masa Depan Robusta
“Robusta tak lagi tentang kopi kakek-kakek, kopi jelek, komersial dan tidak trendy. Sekarang sudah banyak yang bangga minum kopi fine robusta,” kata Mia dengan bangga. Apa yang dikatakannya benar adanya. Menurutnya, fine robusta yang berarti robusta kualitas terbaik atau selevel dengan specialty untuk arabika, sudah banyak di Indonesia. Kopi robusta tidak lagi menjadi kopi kelas dua atau kopi alternatif yang hanya disajikan di warung berteman pisang goreng saja.
Banyak roasters di era sekarang yang mengenal biji kopi robusta dengan sangat baik sehingga mampu mengeluarkan cita rasa yang menyenangkan. Orang-orang yang terlibat diproses robusta pun sekarang sudah lebih peduli terhadap masalah penyortiran kopi ini agar hasilnya sedap di tiap cangkir.
Kehadiran fine robusta berkualitas ternyata tak lepas dari campur tangan para roasters, baik dalam maupun luar negeri, yang sudah sering menyangrai kopi ini. Menurut Mia, banyak roasters di era sekarang yang mengenal biji kopi robusta dengan sangat baik sehingga mampu mengeluarkan cita rasa yang menyenangkan. Orang-orang yang terlibat diproses robusta pun sekarang sudah lebih peduli terhadap masalah penyortiran kopi ini agar hasilnya sedap di tiap cangkir.
Sebaliknya, memang banyak oknum-oknum yang menjual kopi robusta dengan label fine robusta demi harga yang lebih tinggi, walaupun kecacatan bijinya sangat tak tertolong. Meski begitu, masa depan robusta sangat menjanjikan,
Saya merasa potensi negeri ini ada pada robustanya. Terutama mengingat kita adalah negara yang menghasilkan robusta lebih banyak dari arabika.
Bahkan sangkin melihat hebatnya peluang robusta untuk negeri ini di masa depan, Mia Handayani mantap untuk mengambil lisensi r-grader. “Saya merasa potensi negeri ini ada pada robustanya. Terutama mengingat kita adalah negara yang menghasilkan robusta lebih banyak dari arabika. Pemanasan global akan mengakibatkan area tanam arabika lebih naik lagi ke atas gunung, dan terpaksa bersaing dengan hutan lindung. Dan kita akan terpaksa menanam kopi arabika yang klonnya mempunyai sifat robusta, demi ketahanan hamanya, namun mengorbankan karakter rasa arabikanya. Selain itu akan susah untuk kopi arabika Indonesia untuk bersaing secara rasa dengan kopi arabika dari negara-negara Afrika, maupun secara produktifitas dengan kopi dari Amerika Latin.
Sementara saat itu negara yang serius dengan fine robusta hanya India. Bila saat itu kita mau serius dengan fine robusta, potensi kita di dunia sangat baik. Sayangnya kita sedikit terlambat. Vietnam, Laos, dan Filipina sudah mulai serius dengan robustanya. Kita punya kompetitor berat,” tutur Mia panjang lebar.
Global Warming dan Industri Robusta di Indonesia
Kita semua tahu bahwa tanaman kopi sangat terpengaruh oleh iklim kelembaban dan curah hujan. Iklim yang sering berubah-ubah secara ekstrim sudah pasti memengaruhi rasa tanaman kopi tersebut, termasuk global warming yang giat memporak-porandakan hasil panen. Jadi jangan heran jika cuaca dan iklim mendadak berubah, sehingga menghasilkan kualitas fine robusta yang berbeda-beda pula tiap tahunnya.
Namun meski iklim dan perubahan cuaca tak tertebak, setidaknya masa depan fine robusta masih akan menemukan secercah harapan baik ketika permintaan pasar terhadap kopi ini meningkat. Makin banyaknya permintaan penikmat kopi Indonesia terhadap fine robusta, berarti makin banyak processor yang akan mengolah robusta selayaknya kelas specialti. Rantai perjalanan fine robusta terus berlanjut. “Harga kopi arabika semakin tinggi dalam beberapa tahun terakhir. Para roaster terjepit antara mahalnya harga green bean dan para konsumen yang tidak mau harga naik. Mereka lalu mencari alternatif dengan melirik robusta yang harganya relatif lebih murah. Awalnya memilih fine robusta sebagai alternatif harga pada akhirnya tertarik karena ternyata rasanya tak kalah nikmat dari arabika,” kata Mia.
Mia menambahkan bahwa di Indonesia sendiri setidaknya ada dua pertanian yang dia anggap paling stabil menghasilkan fine robusta. Pertama adalah pertanian di Lampung Barat dan yang kedua adalah di Wonosobo. Untuknya, pertanian di Wonosobo belakangan menjadi penghasil fine robusta dengan cita rasa menyenangkan dan sekaligus menjadi pertanian fine robusta favoritnya. “Meski begitu ada satu kopi fine robusta yang sangat memorable buat saya. Kopi robusta dari Bali. Saat kalibrasi q- robusta beberapa tahun lalu, nilai rata-rata kopi tersebut antara 88-99. Sebuah nilai yang tinggi pada saat itu. Sayangnya panen setelahnya kualitasnya menurun. Tidak sebaik hasil panen sebelumnya.”
Mampukah Robusta Indonesia Bersaing di Pasar Global?
Sosialisasi mengenai kopi fine robusta baik dari segi sortir maupun uji cupping adalah salah satu cara agar kopi jenis ini mampu bersaing. Sejauh ini fine robusta yang beredar masih sedikit yang merepresentasikan kualitasnya dengan maksimal. Tak banyak yang tahu bahwa embel-embel fine robusta selama ini hasilnya tak sebagus namanya.
Bagaimana harga jual bisa naik jika kopinya sendiri tidak berkualitas. Juga seharusya fine robusta mulai diikut sertakan dalam lelang kopi yang diadakan di Indonesia Specialty Microlot setiap tahunnya. Di sini tak hanya spesialti arabika, fine robusta juga ada lelangnya. Para processor yang percaya diri kopi robustanya baik harusnya ikut serta agar banyak konsumen yang tahu bahwa fine robusta juga tak kalah kualitasnya.
Jika sudah berani ikut lelang dan hasilnya benar-benar bagus tentu kopi fine robusta kita akan diterima di pasar global. Lagi pula kopi yang benar-benar unggul di manapun dan dari mana pun asalnya pasti menemukan penikmatnya, bukan?
Baca juga, Es Kopi Susu Memodernisasi Robusta.
Tulisan ini juga melibatkan hasil wawancara dari Mia Laksmi Handayani, seorang R-Grader Indonesia.
MUSTIKA YULIANDRI senang menulis kopi dan meneguk kata. Hingga detik ini masih berbahagia hidup di antara spasi dan kata-kata.