Loading Post...

You have reached the bottom. Let’s shuffle the article!

Post Not Found

Memahami Cerita Kekerasan Melaui Film dan Kopi

 In Coffee Conversations

Seniman Coffee Resident: Kaleb Sitompul – Minikino

Juni ini cukup berbeda. Mengawali bulan yang baru, saya terpilih sebagai satu dari empat artist program residensi Toko Seniman dan Minikino yang berlangsung selama 6 hari. Bagi saya, merupakan sebuah privilege untuk mengakses 6 program film pendek Indonesia Raja 2023, kemudian memilih satu film, mengapresiasi, dan menemukan proyeksinya dalam cita rasa kopi.

Setelah menonton keseluruhan film,  Sepenggal Kisah Bunga (2021) akhirnya saya pilih untuk diapresiasi dan diproyeksikan ke dalam cita rasa kopi. Pemilihan film ini juga karena topik, isu, dan permasalahan yang bagi saya jarang sekali terlintas urgensinya di Bali.

Setelah saya riset, kepolisian daerah (Polda) Bali mengungkapkan, sepanjang tahun 2022 telah tercatat ada 260 kasus kekerasan seksual di Bali. Angka ini belum termasuk korban-korban lain yang enggan melapor. Jika dicatat rata-ratanya, maka setiap bulan  ada kasus kekerasan seksual yang terjadi di Bali. Untuk saya yang sebatas berwisata ke Bali, tentu hingar bingar wisata dan keberhasilan terbentuknya wisata Bali jujur saja membutakan mata saya dalam melihat permasalahan terkhusus kekerasan seksual di Bali.

Menonton Sepenggal Kisah Bunga karya I Gede Wahyu Widiatmika, kita akan dibawa sebagai Wahyu dalam 25 menit yang campur aduk. Selain menjadi sutradara, Wahyu juga memerankan tokoh sutradara amatir untuk sebuah channel Youtube. Namun, setelah selesai menonton film ini,  tidak terasa seperti konten Youtube. Ia menimbulkan berbagai harapan, seperti bunga yang layu, dapat tumbuh kembali jika belum saatnya pergi. Selama menonton film pendek ini, saya sudah dibantu ekspektasi dari catatan programnya Kardian Narayana yang menggabungkan film ini  dengan 5 film lainnya dalam program Indonesia Raja 2023: Bali. 

Stiil foto film ‘Sepenggal Kisah Bunga’

Sepenggal Kisah Bunga telah membawakan saya keyakinan dan rasa yang baru: bagaimana sebuah film pendek dapat dibentuk dengan sedemikian rupa, membawa sebuah topik dan permasalahan, dan membiarkan penonton mengalaminya. Dengan pendekatan yang terlihat sederhana dan “amatir” dengan format mockumenter layaknya seorang konten kreator yang baru merintis sebuah channel YouTube, Wahyu mencoba mengajak penonton untuk menyuarakan kekerasan seksual seperti yang dialami Putu, korban kekerasan seksual, kepada penonton lainnya. 

Kisah Putu, seorang anak perempuan yang mengalami kekerasan seksual dari orang terdekatnya, membuat perasaan saya campur aduk. Saya yang tadinya menjadi seorang Wahyu (perekam film, spektator), lalu menjadi Nyoman (Bapak, ayah dari Putu) dan kembali lagi menjadi Wahyu (spektator menjadi teman, pendukung, pejuang) dengan kameranya lagi.

Rasa campur aduk ini bagi saya menjadi pengalaman menonton yang penting untuk dialami dan dirasakan. Terutama sebagai penonton dalam hasil akhir dari program residensi bersama Toko Seniman dan Minikino. Mengapresiasi tontonan dan memproyeksikannya tidak hanya dalam layar/ proyektor, pun kopi sebagai medium yang menggunakan indra berbeda.

Baca juga: Rasa Itu.

Janice (barista toko seniman) diajak menikmati film pendek sebagai bentuk pengalaman apresiasi film

Memproyeksikan “rasa” lewat Kopi

Saat kredit film berjalan, saya mencoba “mengecap-ngecap” rasa yang terjadi selama 25 menit film berjalan. Bahagia, excited, penuh ekspektasi, namun bertanya-tanya, sempat merasa bingung, tapi dalam beberapa saat kembali merasa ada harapan. Harapan berupa imajinasi akan sesuatu yang baik dan baru. Yang berbunga seperti Sepenggal Kisah Bunga.

Bila ditanya bagaimana proyeksi rasa yang ingin disampaikan kalau Sepenggal Kisah Bunga ada dalam kopi, tentu rasa-rasa di atas adalah perasaan yang harus sama. Selain itu, layaknya harapan yang tumbuh setelah proses merasakan, kopi yang ditemukan rasanya ini juga harus melalui perasaan dan imajinasi akan maksud dan tujuan film ini

Di hari terakhir residensi di Toko Seniman, saya mengajak barista bernama Janice, menonton film Sepenggal Kisah Bunga. Seusai menonton, saya mendengarkan impresinya mengenai film ini lalu mempersilahkannya juga membaca draft awal tulisan yang sekarang sedang kalian baca ini. Janice merasakan kompleksitas, bahagia pada awal film berjalan, merasakan pahit pada konflik, lalu dilema dan berusaha menginginkan Wahyu sebagai YouTuber amatir untuk menyelesaikan film. Meski pada awalnya kisah pak Nyoman yang hangat sebagai ayah tunggal harus diganti menjadi kisah Putu yang menjadi korban kekerasan seksual. 

Aktivitas coffee experience mencoba berbagai jenis minuman kopi cold brew.

Janice awalnya merekomendasikan kopi bernama Bali Kintamanis. Kopi yang saya coba saat tahapan coffee cupping experience sebagai rangkaian program residensi juga. Kopi ini memiliki body yang tipis, lalu rasa manis seperti teh di akhir. Namun, setelah meneliti lebih jauh proyeksi saya di atas mengenai rasa personal saat menyelesaikan film ini. Janice dan saya sepakat memilih Sumatra Natural (Gayo Natural)

Selain senang dengan kompleksitasnya, saya juga merasa tasting notes hingga pengalaman meminum Sumatra Natural seperti berjalannya 25 menit Sepenggal Kisah Bunga. Saya membayangkan para penonton nanti memesan kopi ini sebelum pemutaran berlangsung. Membiarkan suhunya turun perlahan sambil mencoba menyeruputnya pada awal film. Lalu menenggaknya lagi saat Wahyu mencoba merubah cerita pada film untuk konten YouTubenya. Menyisakannya hingga film berakhir lalu merasakan Sumatra Natural saat film benar berakhir (suhu kopi pun benar-benar sudah turun). Disaat itu, penonton akan menemukan rasa asam, dan manis setelah mengimajinasikan dan mengecap-ngecap dengan lidah setelah meminumnya.

Kendati demikian, penonton tidak akan bisa merasakannya jika tidak bisa berempati dan enggan melepas ego sendiri. Ia harus mencoba menjadi Wahyu, Nyoman, dan Putu untuk bisa menemukan rasa, dan jika lebih jauh lagi, ada harapan. Akan sesuatu yang baik dan lebih baru. Hidup keseharian dan jauh dari kekerasan seksual.

Baca juga: Mengintip toko kopi Bhineka Djaja (Foto Esai)

“Penulis merupakan salah satu dari empat peserta program Artist Residency kerja sama antara Seniman Residency dengan Minikino dan Mash Denpasar  yang dilaksanakan di Denpasar pada 6 Juni sampai 2 Juli. Selangkapnya tentang program ini, kunjungi: https://minikino.org/xtokoseniman/”

Apa itu Seniman Coffee Residensi? Program ini mengajak para pegiat kopi, artis, designer, penulis, dll untuk melakukan eksplorasi tentang kopi. Peserta boleh memiliki background kopi maupun tidak. Cari tahu lebih lanjut di: Seniman Residency

Kehidupan bertetangga dan kopi
Perempuan dan Kompetisi (Seniman Female Brewers Week 2023)

Share and Enjoy !

0Shares


Leave a Comment

Start typing and press Enter to search