Sudah mantap sangrai macam-macam kopi? Saatnya kita cupping! Cupping tidak hanya dapat dilakukan oleh lingkungan…
Sebuah Doa di Ladang Kopi
Apa hubungan bertani dan spiritualitas? Bagi masyarakat Bali, hubungan ini sangatlah erat dan nyata. Tri Hita Karana namanya—prinsip masyarakat Hindu untuk menjaga harmonisasi antara manusia, alam, dan Sang Hyang Widhi (Tuhan). Ketika hubungan ini seimbang, maka masyarakat juga diuntungkan. Prinsip ini pun dipegang erat oleh para petani di Bali dalam menjaga sumber daya alam paling berharga—air.
Sistem irigasi tradisional di Bali, subak, sudah dikembangkan semenjak abad ke-9. Nama subak kian terdengar dan dibicarakan apalagi pasca ditetapkannya subak sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO. Bagi masyarakat Bali, sistem irigasi subak tidak hanya menyediakan air untuk akar tanaman, tetapi merupakan sistem irigasi berbasis masyarakat yang memiliki kearifan lokal dalam mendukung sumber daya alam berkelanjutan.
Subak merupakan organisasi tradisional para petani di Bali yang bertujuan untuk membagi tanggung jawab secara adil dalam pengelolaan irigasi air dan pola tanam di sawah. Sebagai sistem irigasi yang berbasis petani, subak merupakan lembaga yang bersifat mandiri dan demokratis. Keberadaan subak yang sudah hampir satu milineum mengisyaratkan bahwa subak adalah sebuah lembaga irigasi tradisional yang tangguh dan lestari.
Subak merupakan organisasi tradisional para petani di Bali yang bertujuan untuk membagi tanggung jawab secara adil dalam pengelolaan irigasi air dan pola tanam di sawah. Sebagai sistem irigasi yang berbasis petani, subak merupakan lembaga yang bersifat mandiri dan demokratis.
Di Bali sendiri, meskipun banyak kota sudah beralih fungsi menjadi tempat di mana turis singgah, pertanian masih menjadi sumber pemasukan utama untuk banyak warga. Jumlah subak yang masih bertahan pun adalah 2.726 subak di lebih dari 1.000 desa, menurut data Dinas Kebudayaan Provinsi Bali tahun 2018.
Jika kamu pernah berwisata ke Tegalalang, maka kamu sedang menyaksikan sistem irigasi tradisional ini, tepatnya jenis subak yeh. Begitu juga ketika kamu ke Jatiluwih. Design yang berundak ini adalah untuk memastikan semua petani mendapatkan jatah air. Di beberapa titik dalam satu subak, kamu dapat melihat sebuah pelinggih, tempat Sang Hyang Widhi bersemanyam, yang diletakkan dekat dengan Gunung Agung. Satu pelinggih dimiliki satu orang, jadi jika kamu melihat lima pelinggih dalam satu subak, maka ada lima petani yang menggunakan subak tersebut.
Layaknya sebuah kutipan dari Confucius: “It does not matter how slowly you go as long as you do not stop (Tidak masalah seberapa lambat Anda berjalan selama Anda tidak berhenti).” Subak Suka Maju pun tak berhenti.
Meskipun tidak sepenuhnya subak tersebut memiliki kebun kopi atau anggotanya menanam kopi, beberapa anggotanya masih konsisten dalam menanam kopi. Subak Suka Maju yang terletak di Desa Pekraman Langkan, Bangli, tak pernah berhenti dalam memproduksi kopi, meskipun dua atau tiga tahun yang lalu, sekeliling dari wilayah ini ‘diserang’ trend menanam jeruk karena biaya produksi yang lebih murah dan keuntungan hasil panennya yang menjanjikan.
Menurut Edi Swastawan, generasi muda petani kopi di subak itu, keberadaan subak di daerahnya sudah ada sejak lama. Bahkan subak tersebut sudah ada ketika kakeknya masih kecil. “Sing nawang kak uli pidan pastine, kak cerik sube dapet ade subak (Kakek tidak tahu pastinya sejak kapan, kakek kecil sudah ada subak ini),” kata Edi. Edi juga menambahkan kalau di subak ini ada varietas kopi yang unik bernama arob.
“Kopi di sini sudah ada sejak tahun 1986, namun sampai tahun ini pun masih produktif berbuah. Padahal jika sesuai teori, kopi tak akan berbuah lagi setelah sepuluh tahun. Kalau dihitung dari tahun 1986 sampai 2019 kan sebenarnya sudah lebih dari 12 tahun. Kalau cerita dari kakek, nama varietas ini adalah arob, kepanjangannya arabika-robusta. Kalau aku sendiri dari segi akademis belum pernah lihat di jurnal atau buku tentang varietas jenis ini,” ujar Edi.
Edi pun menjelaskan bagaimana awal adanya jenis varietas ini, berdasarkan cerita kakeknya. “Awal hadirnya varietas ini, menurut cerita kakek, ada seorang petani yang bernama Wayan Patrem menanam selang seling. Dia menanam kopi robusta dan arabika selang seling. Mungkin ada semacam rekayasa genetika ya, bunganya tertiup angin sehingga ada perkawinan.”
“Bisa juga lebah atau serangga,” kakeknya memotong.
“Pohonnya berbuah dan buahnya itu rontok, yang jatuh itu tumbuh di bawah. Anak dari buah itulah ditanam dan munculah kopi arob ini. Menurut petani di sini, kopi arob ini bagus karena saat dia berbuah daunnya tetap lebat, tangkainya lemes,” tutur Edi.
Berbeda dengan subak yeh khas Tegallang dan Jatiluwih yang diperuntukan untuk mengelola tegalan dan kebun, jenis subak yang umumnya digunakan para petani kopi adalah subak abian untuk lahan kering karena memang, untuk masa penanaman, kopi tidak membutuhkan air sebanyak padi.
Baca juga: Ibu-Ibu Pengurai Waktu.
Saat ditemui di rumahnya, Edi beserta kakeknya bercerita perihal kebun kopi dan keterlibatan kakeknya di subak abian. Menurut mereka, dengan bergabung menjadi anggota subak, mereka pun mendapat hak serta tanggung jawab untuk mengelola subak tersebut.
Eratnya kaitan subak dengan nilai-nilai Tri Hita Karana sebagai konsep hidup umat Hindu sangat mereka percayai: bagaimana mencintai alam, mencintai sesama manusia dan juga mencintai Tuhan terkandung dalam subak tersebut. Dengan ikut menjadi bagian subak, mereka telah ikut dalam upaya-upaya penyelamatan lingkungan dan konsep hidup harmoni yang berkelanjutan.
Untuk mempertahankan tanah subak, beberapa subak di Bali dilarang untuk diperjual-belikan. Menurut Edi dan kakeknya, beberapa daerah tersebut antara lain di Landih dan juga Trunyan. Hal ini bisa dilihat sebagai upaya-upaya dalam mempertahankan tanah dan sistem subak itu sendiri.
Untuk mempertahankan tanah subak, beberapa subak di Bali dilarang untuk diperjual-belikan. Menurut Edi dan kakeknya, beberapa daerah tersebut antara lain di Landih dan juga Trunyan. Hal ini bisa dilihat sebagai upaya-upaya dalam mempertahankan tanah dan sistem subak itu sendiri.
Baca juga: Pasca Gempa, Kelompok Perempuan Bangkit dengan Kopi.
Untuk saat ini Edi, dan kakeknya yang tergabung dalam anggota Subak Suka Maju masih menunggu musim hujan turun untuk menanam anak kopi yang telah mereka persiapkan. Adapun jenis kopi yang akan segera dipindahkan ke kebun diantaranya kopi jenis sigararutang, andong sari 1, komasti dan juga kobra.
Setelah nanti kopinya panen, hasilnya akan dibawa ke koperasi dan sebagai anggota subak, mereka mendapat nilai jual yang adil dan seimbang. Mereka pun merasa banyak sekali mendapat manfaat di dalam subak. Selain hubungan dengan alam dan sesama manusia, jika ada upacara dan ritual yang berhubungan dengan subak, ini akan meringankan mereka karena semua dikerjakan bersama-sama anggota subak untuk subak mereka sendiri. Kendati pun membutuhkan waktu yang lama untuk bisa mendapat hasilnya, Edi, kakeknya dan anggota subak Suka Maju yang dengan konsisten dan semangat menanam kopi.
Oleh Putu Juli Sastrawan