Nama Imas Suryati mungkin belum terlalu familiar di telinga penikmat kopi di Indonesia. Tapi di…
Wanita-Wanita Penggerak dari Kaki Gunung Semeru
KRISTINA PAKPAHAN
Staff Riset Bina Desa
Bicara tentang petani kopi berarti berbicara tentang petani secara keseluruhan. Sesuai dengan apa yang Jeffrey Neilson katakan di edisi awal kami: tidak ada istilah petani kopi. Karena kopi hanyalah satu dari beberapa komoditas yang ditanam untuk menunjang kehidupan petani sepanjang tahun. Maka itu ketika membicarakan tentang petani kopi perempuan pun, kita mesti melihat dari kacamata yang lebih luas, melewati peranan penyortir kopi yang identik dengan perempuan dan memasuki ranah domestik dan peranan sosial mereka.
Di sebuah desa di Kaki Gunung Semeru, gerakan lokal bernama Sidomakmur yang diinisiasi perempuan petani mulai menguat. Berlokasi di Desa Pasru Jambe, Sidomakmur menjadi kanal belajar dan bertukar pengetahuan baik bagi perempuan maupun laki-laki. Walaupun berawal dengan semangat melawan kemiskinan, dalam perjalanannya, Sidomakmur berkembang sebagai organisasi yang kritis terhadap program pemerintah, termasuk mengangkat isu-isu feminisme.
Perempuan petani di Indonesia memang masih sering terjerat dengan tugas-tugas domestik dan tidak memiliki hak kepemilikan atas tanah maupun alat-alat produsi. Misalnya, pendaftaran tanah sering diatasnamakan laki-laki, dan sistem pewarisan tanah juga hampir selalu diturunkan kepada laki-laki. Dalam rumah tangga, jika mengalami kesulitan dalam menyediakan pangan, orang pertama yang akan disalahkan adalah perempuan. Lalu, ketika anak-anak dan suami terlihat ‘tidak terurus’, maka kesalahan ada pada Ibu.
Belum lagi, penguasaan lahan skala besar dan korporasi industri pertanian memainkan peran cukup besar dalam menggeser akses dan kontrol atas faktor produksi tersebut, serta menyebabkan ketergantungan massif dalam kurun waktu yang cukup lama. Di atas itu semua, perempuan yang berpolitik dan berorganisasi dianggap melalaikan tugas utamanya sebagai ibu rumah tangga, sehingga masih sering kita temukan partisipasi perempuan yang minim dalam pengambilan keputusan di organisasi desa mana pun. Perempuan yang bergabung dalam Sidomakmur pun seringkali mendapat cap “perempuan liar” maupun “perempuan pembangkang.” Namun, hal ini tidak menyurutkan semangat mereka.
Mereka menginisiasi sistem pertanian keluarga yang bertujuan untuk menghasilkan pangan sehat, dan meningkatkan ekonomi keluarga. Mereka percaya bahwa pangan sehat juga akan menciptakan keluarga yang sehat dan terhindar dari bahaya penyakit.
Sidomakmur, Lumajang
Seorang perempuan petani bernama Usrek dari Lumajang, Jawa Timur merupakan salah satu inisiator lahirnya komunitas Sidomakmur. Salah satu komoditi yang ditanam adalah kopi, menimbang kondisi tanah yang mereka miliki sangat sesuai untuk tanaman ini. Lahan tempat menanam kopi dimiliki secara kolektif organisasi. Mereka mendapatkan lahan tersebut dari patungan uang kas organisasi yang mereka kumpulkan tiap bulan. Pengelola mendapatkan bagian 60% sementara sisa keuntungan akan didistribusikan secara adil kepada anggota kelompok.
Perempuan anggota Sidomakmur memiliki peran penting mulai masa produksi hingga distribusi. 80% pengolahan kopi dilakukan oleh perempuan, dari proses membersihkan kopi, perawatan pohon kopi, jombret (cara membersihkan kopi dari rumput), memanen, menggiling hingga menjemur. “Sebelum saya mengajar, saya ikut memanen kopi, mengeringkan, menggiling, menjemur, menggiling lagi dan kemudian menggoreng,” ujar Septi seorang pengurus Sidomakmur. Namun pada proses produksi dan distribusi pemasaran masing-masing anggota memiliki tugas dan peran yang telah disepakati secara bersama-sama baik laki-laki maupun perempuan.
Tidak semua petani yang ada di Desa Pasru Jambe tergabung dalam komunitas Sidomakmur. Mereka yang bukan bagian dari Sidomakmur bekerja secara individu. Kontur kebun yang tidak rata, membuat mereka menghabiskan dua atau tiga jam untuk tiba di sana. Kondisi tersebut menyulitkan mereka, terutama ketika membawa pupuk dan hasil panen. Tengkulak juga mematok harga yang sangat murah untuk kopi-kopi mereka, yakni Rp 25.000/kg, untuk kemudian dijual lagi kepada rantai berikutnya seharga Rp 100.000/kg. Sebuah kondisi ketimpangan yang sangat tidak adil bagi jerih payah mereka selama bertani. Ini menjadi tantangan bagi komunitas Sidomakmur, dimana petani di desa mereka tidak bersedia menjual kopi secara langsung, sehingga ketika mereka mengalami kekurangan bahan baku, mereka terpaksa membeli lagi dari tengkulak dengan harga dua kali lipat.
Jenis kopi yang mereka kemas adalah kopi jambe yakni perpaduan antara kopi dengan pinang, kopi murni dan kopi jagung khas dari Lumajang. Kopi bagi perempuan petani di Lumajang tidak hanya untuk dijual tetapi juga untuk konsumsi di lingkup keluarga.
Untuk penjualan/pemasaran harga jual sangat rendah paling maksimal Rp 10.000 per bungkus (200 gr). Pembagian hasil selalu dimusyawarahkan secara bersama, sesuai dengan kontribusi kerja masing-masing anggota. Untuk yang bertugas menggoreng kopi dibayar Rp. 30.000/kg, bagian pemasaran akan mendapat keuntungan dari harga jual produk, jika dijual Rp 10.000 maka akan mendapat Rp 2.500/kg. Sementara sisa penghasilan Sidomakmur akan menjadi uang kas bersama. Karyawan Sidomakmur terdiri dari 12 orang untuk bagian produksi dan marketing. Jenis kopi yang mereka kemas adalah kopi jambe yakni perpaduan antara kopi dengan pinang, kopi murni dan kopi jagung khas dari Lumajang. Kopi bagi perempuan petani di Lumajang tidak hanya untuk dijual tetapi juga untuk konsumsi di lingkup keluarga.
Ende, Nusa Tenggara Timur
Perempuan petani di Kabupaten Ende Nusa Tenggara Timur -Yayasan Tananua Flores- juga menanam kopi di lahan mereka. Hanya saja, berbeda dengan kelompok Sidomakmur, komoditi kopi di Ende dipilih karena merupakan sumber penghasilan yang dapat menjaga kestabilan ekonomi rumah tangga termasuk untuk biaya sekolah anak, kesehatan dan lainnya. Rata-rata petani memiliki lahan kopi minimal ½ Ha per keluarga.
Jenis kopi yang mereka tanam yakni Robusta dan Arabika.
Pengolahan kopi dengan cara tradisional yakni dengan menggunakan lesung dikerjakan oleh perempuan, sedangkan dengan menggunakan teknologi mesin dioperasikan oleh laki-laki.
Hampir semua proses dalam pertanian kopi dikelola oleh perempuan mulai dari masa tanam, panen hingga distribusi. Pengolahan kopi dengan cara tradisional yakni dengan menggunakan lesung dikerjakan oleh perempuan, sedangkan dengan menggunakan teknologi mesin dioperasikan oleh laki-laki. Meskipun mereka mengerjakannya secara berkelompok, proses seperti menggiling, fermentasi, mencuci dan menjemur, sortir sampai jual, dilakukan sendiri-sendiri oleh petani tersebut. Pengolahan kopi dengan menggunakan lesung masih digunakan lebih dari 50% petani. Hasil panen dijual ke pedagang pengumpul di desa dan kabupaten dan juga ke UKM Tananua Flores dalam bentuk bubuk kopi yang disebut “Kopi Kelimutu.” Untuk konsumsi dan kebutuhan sosial seperti pesta dan acara keluarga lainnya, mereka menyisihkan 50 kg dalam setahun.
Organisasi berperan sangat penting dalam menguatkan lapis perempuan petani di Indonesia. Ia dapat menjadi medium belajar, berkarya dan berkreatifitas tanpa batas. Serta tentu saja sebagai kanal solidaritas dan kolektifitas dalam menghadapi berbagai macam situasi sulit di kehidupan sehari-hari mereka. Apapun itu bentuk dan namanya: komunitas, kelompok, serikat, dll, yang paling utama adalah bagaimana para perempuan ini memiliki ruang untuk didengar, dan dipertimbangkan posisinya. Dalam hal ini, cerita yang telah dipotret adalah bagaimana kopi menjadi komoditas yang dipilih sebagai sarana produksi kolektif untuk cita-cita kemandirian ekonomi perempuan.
Baca juga, Ibu-Ibu Mengurai Waktu.
Foto dari penulis
KRISTINA PAKPAHAN adalah lulusan antropologi yang berkarya di Bina Desa sebagai staf riset.
BINA DESA adalah organisasi yang telah bekerja bersama komunitas pedesaan yang beragam sejak 1975 dan meyakini bahwa sumber insani pedesaan adalah kekuatan utama untuk membangun desa.